AMBON,MRNews.com,- Blok Masela sampai saat ini belum memiliki kejelasan tentang pembeli. Inilah persoalan yang sementara dihadapi oleh Inpex dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (MIGAS). Padahal adanya pembeli menjadi faktor penentu sebelum proyek beroperasi, agar Blok Masela dapat terus berproduksi sampai tahun 2055.
Terungkapnya hal itu saat para wakil rakyat di DPR dan DPD RI asal daerah pemilihan Maluku periode 2019-2024 mendatangi SKK MIGAS di kantornya Gedung Wisma Mulia jalan Gatot Subroto Jakarta, Kamis (21/11/19) untuk bertemu dan mempertanyakan perkembangan Blok Masela sekaligus menuntut tetap diberikannya Partisipating Interest (PI) 10 persen pengelolaan Blok Masela kepada Maluku.
Para wakil rakyat itu diantaranya dari unsur DPR RI Mercy Chriesty Barends, Hendrik Lewerissa, Abdullah Tuasikal, Saadiah Uluputty sedangkan dari DPD RI Anna Latuconsina, Novita Anakotta, Mirati Dewaningsih. Anggota DPD RI Nono Sampono yang juga Wakil Ketua DPD RI izin karena tugas negara yang tidak bisa didelegasikan. Pihak SKK MIGAS dipimpin Kepala SKK MIGAS Dwi Soetjipto didampingi Sekretaris SKK Murdo Gantoro, Deputi Pengendalian Pengadaan Tunggal, Deputi Operasi Julius Wiratno, Deputi Perencanaan Jafee Suardin dan jajaran lainnya.
Kepala SKK Migas Dwi Sutjipto mengakui, pihaknya saat ini bersama Inpex sementara menjajaki proses komersialisasi dan mencari calon pembeli dengan pertimbangan minimal tiga buyer (pembeli) diharapkan rampung pada tahun 2022. Selanjutnya tahun 2022-2027 diikuti dengan pembangunan konstruksi dan seterusnya, sehingga diharapkan tahun 2027 sudah dapat berproduksi.
Proses yang sementara berlangsung saat ini kata Dwi, yakni lelang atau tender FEED Enginering (Desain Detail Fasilitas LNG Blok Masela) dan terbuka bagi pihak perusahan ditingkat dunia baik dari US maupun Eropah untuk mengambil bagian dalam tender dimaksud untuk menjamin efisiensi, proses dengan baku mutu yang tinggi dan teknologi yang handal. Setelah FEED selesai diikuti dengan keluarnya Final Invesment Decision (FID). Tahapan selanjutnya adalah lelang/tender konstruksi yang meliputi (Engineering, procurement, Construstion and Instalation/EPCI).
“Terkait pengelolaan PI 10 persen, belum ada penetapan dari Menteri ESDM, namun kita sudah menyurati resmi Menteri ESDM tertanggal 1 November 2019 perihal PI 10 persen di wilayah kerja Masela. Pemerintah provinsi NTT belum menyurat resmi Menteri ESDM tentang permohonan resmi penawaran pengelolaan PI 5 persen Blok Masela. Sesuai PP 35 tahun 2004 dan Permen ESDM No 37 tahun 2016 maka setelah penetapan POD, kontraktor wajib menawarkan PI10 persen kepada BUMD (berdasarkan penetapan daerah yang ditetapkan Menteri ESDM),” kata Dwi saat merespons pertanyaan yang dilayangkan para wakil rakyat.
Blok Masela ujar Dwi, adalah proyek terbesar kedua sesudah Freeport dengan total investasi 280 T dan menggunakan teknologi sangat complicated. Nilai investasi Blok Masela tiga kali lebih besar dari Blok Tangguh Crane 3. Proses pengeboran dilakukan di laut dalam dengan tingkat risiko sangat besar dan dilakukan wilayah laut yang berdekatan dengan daerah terluar dan infrastruktur sangat minim. Untuk tahap POD I Inpex sebagai operator telah mengeluarkan anggaran sebesar 1.4 milyar US$ atau sekitar 15 T. Dengan bentuk kerjasama berbasis PSC (Production Sharing Cost) atau lebih dikenal dengan skema Cost Recovery.
Terhadap hal itu, Mercy Barends katakan, SKK Migas mengusulkan agar secepatnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku menyurat resmi untuk mengajukan permohonan resmi penawaran pengeloloaan PI 10 persen Blok Masela kepada Menteri ESDM RI. SKK Migas juga mengapresiasi sikap tanggap dan responsif Pemprov Maluku dimana sejak pertemuan SKK Migas dan Inpex di Ambon pada 4 November 2019, saat itu SKK Migas menyerahkan surat permohonan penetapan lokasi dan surat rekomendasi Gubernur.
“Seminggu kemudian surat dari Gubernur Maluku telah resmi diterima SKK Migas. Dengan adanya kedua surat tersebut maka percepatan proyek abadi Masela dapat dilakukan segera. Selain itu SKK Migas juga memberikan perhatian terhadap kesiapan SDM Maluku berdasarkan arahan Bapak Presiden RI,” ungkapnya tentang alur cakapan dan respons SKK Migas. .
Pada pertemuan yang berlangsung kurang lebih tiga jam, para wakil rakyat kata Mercy, berdasarkan UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gumi, pasal 4 ayat 2; “Penguasaan oleh Negara sebagaimana dimaksud oleh ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan jo UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 27 ayat (3) disadari kebijakan/diskresi terkait penetapan hak pengelolaan PI 10 persen kewenangannya di pemerintah pusat.
“Berdasarkan kewenangan tersebut kami mengharapkan SKK Migas secara transparan dapat menjelaskan proses terkait hal dimaksud sudah sejauh mana terhadap penetapan Daerah yang berhak mengelola PI 10% Blok Masela dan usulan NTT yang meminta hak pengelolaan PI 5% Blok Masela. Sejumlah pertimbangan dan argumentasi disampaikan kepada pihak SKK Migas karena menyadari persetujuan pengalihan PI 10 persen oleh Menteri ESDM berdasarkan pertimbangan dari kepala SKK Migas,” ujar mantan anggota DPRD Maluku itu,” tukasnya.
Selain Barends, enam wakil rakyat lainnya juga memberi pertimbangan dan argumentasi. Beberapa yakni Hendrik Lewerissa yang menyebut dari aspek Geo Technical, penetapan nama Blok Marsela ditetapkan berdasarkan strata geografis yang bersambungan langsung dengan Pulau yang paling terdekat yakni Pulau Marsela sehingga umumnya Penetapan nama Blok suatu ladang Migas menggunakan nama pulau terdekat.
“Pulau Marsela adalah salah satu Pulau kecil yang berada di bagian selatan Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku dan berbatasan langsung dengan Australia. Sehingga dari sisi penamaan saja telah menunjukkan secara jelas dan tegas karakteristik serta Identitas Ke-Maluku-an,” tutur politisi Gerindra.
Ana Latuconsina menekankan, dari aspek potensi risiko, daerah yang terdampak langsung dari pengembangan Blok Marsela adalah Pulau-pulau di Maluku terutama Pulau Yamdena sebagai lokasi pembagunan Kilang darat LNG baik dari daya dukung lingkungan, social, ekonomi dan seterusnya. Dengan seluruh perjuangan, kerja keras dan pengorbanan pemerintah daerah dan masyarakat Maluku (waktu, tenaga, anggaran, penyiapan lahan, dsb) maka menurutnya, sangatlah tidak bijaksana jika pemerintah memberikan pengelolaan 5 persen PI Blok Marsela ke Provinsi NTT yang “tidak berkeringat” sedikitpun dalam perjuangan panjang Blok Marsela tersebut.
“SKK Migas diharapkan dapat memberikan pertimbangan rasional dan objektif kepada Menteri ESDM dan Presiden RI untuk memastikan 10 persen PI Blok Masela dikelola oleh Provinsi Maluku. Sebab harapannya, PI 10 persen Blok Masela tetap diserahkan hak pengelolaannya kepada Provinsi Maluku,” tutup Saadiah politisi PKS. (MR-02)
Comment