AMBON,MRNews.com,- Film berdurasi kurang lebih 35 menit tentang Ambon berjudul Beta Mau Jumpa, upaya penanganan pasca konflik Ambon 1999-2002 oleh perempuan dan anak muda dalam menggalang perdamaian, yang pemutaran perdananya di Indonesia dilakukan di kampus harmoni dalam perbedaaan IAKN Ambon sekaligus diskusi, Selasa (28/1/2020), dipandang sebagai titik penting yang mengisahkan fakta kepada masyarakat di kota Ambon khususnya untuk terus merawat perdamaian dan relasi orang basudara.
Penilaian itu dikemukakan Rektor IAIN Ambon Hasbollah Toisuta dalam diskusi film kerjasama Pusat Studi Antar-Budaya dan Agama IAKN Ambon dengan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies atau CRCS) Sekolah Pascasarjana UGM serta Watchdoc Documentary yang disutradarai Ari Trimana. Bahwa bagi Toisuta, pasca konflik kala itu hingga kini, problema segregasi sesuai agama masih dirasakan. Namun begitu, problema itu harus dikelola secara baik. Sebab tidak bisa dihindari.
“Film ini memberi pesan harus ada transformasi teologi, sikap berteologi. Anak-anak muda saat ini harus didorong untuk saling baku maso dalm perjumpaan. Bahkan, ada kearifan lokal yang harus terus diperjuangkan untuk membangun relasi-relasi sosial. Itulah kenapa film Beta Mau Jumpa menjadi titik terpenting terus merawat perdamaian di Ambon,” ungkapnya.
Tak saja Hasbollah, Asisten II Setda Kota Ambon Robby Silooy mewakili Walikota turut memberi catatan dan testimoni terhadap film kedua dari seri Indonesian Pluralities, seri dokumenter yang merupakan kerja kolaborasi antara CRCS UGM, Watchdoc Documentary, dan Pardee School of Global Studies, Boston University, dengan dukungan dari the Henry-Luce Foundation.
“Pemerintah kota (Pemkot) Ambon sambut baik dan apresiasi mulai dari gagasan, tema dan isi film Beta Mau Jumpa. Sebab sama dengan visi Ambon yang harmonis, sejahtera dan religius. Harmonis berarti perjumpaan semua orang dalam perilaku hidup sebagai orang-orang yang beragama. Apalagi ini peluncuran perdana secara nasional dan terjadi di IAKN Ambon. Dan sebagai orang Ambon, mestinya judul ini bisa diganti kata Jumpa dengan Bakudapa, supaya khas dan melekat ke-Ambon-annya,” jelasnya.
Dalam film ini, tambah Silooy, mesti dikondisikan juga Ambon sebelum konflik, yang sangat rukun, harmonis, pela gandong tinggi jadi kekuatan. Bahwa ada konflik, tapi akhirnya ada keinginan untuk tetap rukun. Kritik lain yakni konflik Ambon bukan soal agama, tapi sosial.
“Sumbangsih agama lain dalam perdamaian Ambon juga besar bukan Islam-Kristen saja. Termasuk pendekatan transaksi ekonomi dua komunitas juga mempercepat perdamaian itu. Ambon saaat ini jauh lebih maju dari dulu. Berkat komitmen dari warga dan semua stakeholder,” bebernya.
Sebelumnya, Rektor IAKN Ambon Dr A.Ch Kakiay mengaku, lewat film Beta Mau Jumpa semua orang bisa belajar bagaimana konflik tidak selesaikan masalah. Sebab konflik tak saja hasilkan jembatan segregasi secara fisik tapi juga psikis. Namun harus diakui, semua stakeholder pasti berkontribusi bagi Ambon dan Maluku yang damai.
“Itulah yang jadikan predikat Maluku menjadi laboratorium perdamaian. Ambon jadi salah satu kota dengan tingkat toleransi tertinggi di Indonesia. Semoga film ini terus memberi dan hasilkan karya-karya yang menginspirasi banyak orang. Terutama karya-karya perdamaian, toleransi dan harmonisasi,” imbuhnya.
Sementara, sang sutradara Ari Trimana dari Watchdoc Documentary menjelaskan, film Beta Mau Jumpa dirancang untuk membuat perjumpaan-perjumpaan baru. Terutama karena generasi muda yang melanjutkan proses perdamaian sehingga unsur anak muda juga dimasukkan dalam film ini. Semua unsur mulai dari gagasan dan jalan cerita sesuai fakta tanpa dibuat-buat. Dalam kesadaran segregasi adalah persoalan yang menggelisahkan hingga kini pasca konflik.
“Film ini jadi medianya. Tidak sekedar pemutaran, tapi juga diskusi. Dalam kesadaran bahwa perdamaian tidak dapat diciptakan dalam waktu singkat, tapi butuh proses panjang. Ini juga tantangan bagi orang muda lahirkan film-film lebih kaya dan kontekstual. Meski film kecil, tapi bisa ciptakan ruang perjumpaan. Pesan film ini, dari keinginan berjumpa, ada niat bisa jadi pemecah tembok segregasi. Tanamkan terus dan rawat. Sebab konflik hanya bawa dukacita lebih banyak dari sukacita,” ujar Ari yang juga seorang jurnalis. (MR-02)
Comment