by

Bachmid Pertanyakan Sikap Gesit Polda Soal Insiden Lela

JAKARTA,MRNews.com,- Kuasa hukum Ir Said Assagaff, Fachri Bachmid mempertanyakan sikap dan tindakan Polda Maluku yang sangat gesit dan cepat memproses laporan terhadap kliennya terkait insiden warung kopi Lela beberapa waktu lalu dengan mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Tinggi Maluku, dalam kurun waktu kurang dari tiga minggu. Padahal, tidak seperti biasanya dimana tiap laporan yang masuk sebelumnya ke Polda Maluku, harus menghitung bulan baru dilimpahkan ke Kejati. Sedangkan perkara kliennya begitu cepat diproses.

“Pertama, bahwa langkah cepat serta gesit dari Polda Maluku untuk mengusut perkara yang masih tergolong sangat sumir tersebut tanpa melalui tahapan penyelidikan secara hati-hati dan cermat dapat menimbulkan tanda tanya. Ada apa dengan langkah kegesitan Polda dengan perkara ini,?. Kami patut menduga dan sulit untuk menghindar dari pertanyaan mengenai motif dan target akhir dari sebuah proses akrobat penegakan hukum seperti ini,” ungkap Bacmhid dalam rilis tertulis yang didapat Mimbarrakyatnews.com, Kamis (5/4).

Tanggapan pihaknya lewat rilis ini kata Bachmid setelah mencermati perkembangan penanganan perkara insiden Warkop Lela beberapa waktu lalu yang ditangani Polda Maluku saat ini secara saksama serta objektif, dengan menggunakan parameter yuridis serta politis yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada. Terutama mengenai langkah cepat dan sigap (speed up) Polda Maluku untuk menyampaikan SPDP ke Kejati Maluku dalam perkara tersebut merupakan sesuatu prestasi penegakan hukum di Maluku yang luar biasa dan ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah penegakan hukum.

“Kami belum mendapat secara resmi penyampaian tembusan SPDP dari Polda terkait perkara itu. Karena sesuai aturan, wajib diberitahukan kepada pelapor maupun terlapor. Dan sampai saat ini belum ada, sehingga kami tidak tahu apakah SPDP yang dikirim itu hanya terkait delik penganiayaan (sangkaan pasal 351) KUHP dengan posisi terlapor adalah Abu King,? ataukah termasuk delik Pers (sangkaan pasal 18) UU No.40/1999 tentang Pers,? dengan terlapor Said Assagaff dan Husein Marasabessy,?. Ini belum jelas dan masih sumir,” tukasnya.

Sekiranya ada SPDP dengan perkara delik pers, maka lanjut Bachmid sangat lucu, karena tidak semudah itu polisi secara subjektif mengkualifisir bahwa telah terjadi tindak pidana di bidang pers. Karena berdasarkan MoU antara Dewan Pers dan Polri No.2/DP/MoU/III/2017,tertanggal 9 Februari 2017,maka untuk menentukan sifat dan kualitas perbuatan itu, adalah masuk ranah pelanggaran kode etik jurnalistik atau pidana adalah Dewan Pers. Bahkan lebih jauh saksi ahli dalam perkara delik pers haruslah Dewan Pers, bukan dari instansi yang lain, sehingga tidak sesederhana itu.

Poin ketiga diakui Bachmid bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan beberapa opsi hukum yang dipandang penting untuk membuka tabir perkara ini secara terang benderang. Agar publik dapat mengerti duduk perkara secara lebih jelas dan objektif. Guna memastikan, apakah tindakan pelapor (Sam Usman Hatuina) benar sedang melaksanakan tugas-tugas jurnalistik atau sebaliknya.

“Kami sedang mengambil beberapa langkah hukum untuk memastikan apakah pelapor dengan aktivitasnya saat kejadian di warkop Lela bertindak dalam tugas jurnalistik ataukah diluar profesionalnya. Sebagaimana diatur dalam pengertian ketentuan norma pasal 4 ayat (3), UU RI No.49/1999 tentang Pers yang secara operasional diatur dalam peraturan Dewan Pers No.6/Peraturan-DP/V/2008 tentang pengesahan surat keputusan Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai peraturan Dewan Pers, khususnya ketentuan pasal 2, yang menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik, yaitu : a. menunjukan identitas diri kepada narasumber; b. Menghormati hak privasi, dan seterusnya,” tegas Bachmid.

Sekiranya nantinya terbukti, bahwa pelapor pada saat peristiwa itu tidak sedang melaksanakan tugas jurnalistik sesuai kaidah hukum pers, maka secara yuridis, menurut Bachmid pelapor dapat dikualifisir tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) ketika melaporkan perkara dengan delik pers sebagaimana diatur dalam pasal 18 ayat (1) UU RI No.40/1999 tentang Pers pada Polda Maluku.

Sehingga justru berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum serius bagi pelapor, karena akan dipertimbangkan melapor balik yang bersangkutan dengan sangkaan dugaan tindak pidana mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu atau pengaduan fitnah sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 317 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama empat (4) tahun, Junto Pasal 220 KUHP,

“Ini konsekuensi legal yang tengah dimatangkan untuk dilakukan segera. Kami telah kaji secara mendalam dan substantif. Beberapa opsi hukum terpaksa ditempuh guna mencari dan menemukan kebenaran materill atas perkara ini, agar menjadi terang benderang, dan publik dapat memahami secara gamblang, bahwa kami sama-sama mencari keadilan. Supaya juga tidak ada yang menjadi korban atas penggalangan opini secara tendensius serta dilakukan massif dan sistemik. Atas semua ini biarlah diletakan dalam bingkai dan koridor hukum,” papar Wakil Ketua bidang Hukum DPD Golkar Maluku itu.

Bahwa atas berbagai rumors dan opini yang berkembang mengenai pemanggilan Ir.Said Assagaff sebagai terlapor dalam perkara ini, maka ditegaskan Bachmid, berdasarkan telegram Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian No.ST/415/II/RES.1.24/2018 bertanggal 15 Februari 2018, sebagaimana terdapat pada Diktum kedua yang pada pokoknya memerintahkan kepada seluruh jajaran aparat kepolisian agar menunda proses penyelidikan dan penyidikan terhadap calon Gubernur/Wakil Gubernur/Bupati/Wakil Bupati/Walikota/Wakil Walikota yang diduga melakukan tindak pidana sampai tahapan pemilihan selesai.

Dengan dasar guna mewujudkan profesionalisme dan netralitas kinerja Polri dalam pelaksanaan YANMAS bidang penegakkan hukum serta guna menghindari “Conflict of Interest” dan dimanfaatkannya Polri untuk kepentingan politik pihak tertentu. Sehingga sangat dimaknai Kapolda Maluku pasti bersikap hati-hati dalam menyikapi berbagai perkara yang mempunyai potensi konflik kepentingan seperti itu.

“Kami intens dan atentif mengikuti dan menganalisa setiap perkembangan penanganan perkara ini. Sebab ini hal sensitif dan mempunyai implikasi cukup signifikan secara sosial dan politik. Tapi kami yakin Polda Maluku sangat profesional dalam melihat, memahami, dan mempedomani peraturan perundang-undangan dan kebijakan hukum yang berlaku di tubuh Polri. Kami juga percaya Polda Maluku peka terhadap segala dinamika politik kemasyarakatan pada hajatan Pilgub Maluku, bahwa perkara ini memiliki dimensi politik cukup tinggi. Harapan kami pula agar semua pihak dapat menciptakan suasana kondusif menjelang Pilgub serta sejauh mungkin menghindarkan segala tindakan yang dapat mengganggu tahapan dan pelaksanaan Pilgub Maluku,” tutupnya. (MR-05)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed