Oleh : Pendeta Elifas Tomix Maspaitella, MSi (Sekum MPH Sinode GPM)
AMBON,MRNews.com,- Perang Pattimura (1817) melibatkan kerajaan-kerajaan di tanah Maluku yang sudah ada ratusan tahun sebelumnya. Di tanah Saparua ada Kerajaan Iha. Kerajaan Hatuhaha di Haruku, Hitu di Leihitu-Ambon, Huamual di Seram, Ternate dan Tidore di Utara.
Raja dan Saniri Besar merupakan simbol kepemimpinan di Kerajaan-kerajaan itu, dan para kapitang, malesi, merupakan pimpinan perang yang dikenal dengan kedigdayaannya.
Hal baku-keku, atau saling membantu, di antara kerajaan-kerajaan dan negeri-negeri perkasa di Maluku untuk melawan penjajah Eropa bukan baru terjadi di 1817. Setidaknya deretan nama Kapitang yang diminta bantuan untuk menolong satu negeri melawan musuh-musuh mereka memperlihatkan negeri dan kerajaan-kerajaan itu sudah terbiasa saling membantu.
Beberapa peristiwa keterlibatan kapitang perkasa dari negeri-negeri di Lease malah turut menjadi dasar hubungan pela, misalnya antara Tuhaha dengan Hatuhaha.
Pada Perang Pattimura (1817), kesepakatan untuk melawan Belanda dilakukan raja-raja dan saniri besar di Saparua, Haruku, Nusalaut, Seram Selatan, Seram Barat. Di Saparua lah, para raja itu mengangkat Thomas Matulessy untuk menjadi Kapitang, sebagai suatu gelar adat, dan mempercayakan dia memimpin pertempuran melawan Belanda.
Dalam beberapa catatan sejarah, penunjukkan dan pelantikan adat terhadap Thomas Matulessy dikarenakan ia adalah keturunan asli kapitang-kapitang dan keahliannya sebagai tentara dalam ketentaraan Inggris, serta pangkat Sersan Mayor, yang nota-bene membuat dia sudah terlatih sebagai komendan pasukan.
Beta memaknai hal itu kepemimpinan Saniri, sebagai model kepemimpinan adat di Maluku. Bukan soal pembagian tugas yang tegas, tetapi penerimaan secara massal akan ditetapkannya seseorang sebagai pemimpin dan panglima perang, dan kepercayaan untuk mendengar segala komandonya/titahnya.
Kepercayaan adatis itu diresponi Thomas Matulessy dengan membangun strategi perang melawan Belanda di semua Benteng yang ada. Karena itu ia membangun komunikasi dengan semua raja dan kapitang di Saparua, Haruku, Nusalaut, Ambon, Seram, Ternate, Tidore. Tujuannya adalah agar semua kerajaan itu bersama dalam melawan politik kolonial.
Pada sisi itu, model kepemimpinan Saniri ternyata mampu membangun kesepakatan bersama untuk berjuang. Suatu pola interkoneksi yang efektif bila diperkuat oleh tipikal pemimpin yang berkharisma dan isu bersama sebagai agenda pokoknya.
Dalam adat Maluku, titah kapitang itu hokmat. Titah itu lahir dari sikap kabaresi (tar taku, barane) untuk menjaga keamanan dan keselamatan negeri/tanah/pul(a)u/nusa. Hokmat kapitang itu akan membentuk semangat untuk maju, jang undur, apa pun tantangannya. Apa pele muka, potong kas putus. Apa malintang jalang, inja kas patah (banding moto Pasukan Yon 731/Kabaresi “Pele Putus, Malintang Patah”).
Beta pahami bahwa bila roh itu dibawah ke dalam konteks saat ini, kita harus bisa merejuvinasi simbol dan slogan-slogan itu ke dalam nuansa yang lebih humanis, sebagai kobaran semangat melawan kelaliman, arogansi, dominasi, dikotomis, dengan semangat baru untuk merangkul (heka hiti), memimpin dengan bijaksana, mendengar pendapat, mendamaikan.
Setidaknya, spirit perang Pattimura bukan semata-mata “angka parang deng salawaku”, tetapi pembelajaran tentang kepemimpinan kultural/adatis sebagai model kepemimpinan yang kontekstual.
Di negeri raja-raja ini, model kepemimpinan kultural melahirkan Maluku Yang Bersatu, dan pemimpin yang berkharisma serta kabaresi.
Selamat menunaikan ibadah Puasa bagi basudara Salam, dalam perenungan bersama akan watak kepemimpinan adatis. (ETM/selesai)
Comment