BOSSEY, MRNews, – Masih hangat dalam ingatan di 9 September 2019 kemarin kompilasi tiba di Bossey. Hari Senin pagi saat mendarat di bandara Genewa dengan cuaca dan suhu yang sangat berbeda dengan Ambon-Indonesia. Belum lagi saat ini kondisi tubuh sedang flu berat dan batuk. Ahh …. hari pertama dan minggu pertama yang penuh tantangan, tapi saya berjumpa dengan orang-orang yang luar biasa. Teman-teman mahasiswa, staf institut dan juga para profesor yang sangat peduli. Terkenang refleksi Rev. Prof. Dr. Kuzipa Nalwamba di pembukaan tahun ajaran tentang Yesus memberikan makan lima ribu orang, semangat berbagi selalu tidak pernah berkekurangan tetapi selalu menghasilkan kelimpahan. Saya mengalaminya, dukungan dan topangan memberikan kesembuhan.Bukan hanya saya, tetapi juga teman-teman lainnya dalam sakit dan masalah yang berbeda.
Melewati hari-hari di Petit Bossey, tinggal serumah dan hidup bersama dengan tiga puluh dua (32) orang yang berbeda latar belakang sosial dan budaya bukan perkara gampang. Lebih dengan bahasa yang berbeda, salah mengerti dan dipahami tidak dapat terhindari. Sttttt …. termasuk saya, mungkin sebagian teman harus meminta lagi untuk meminta apa yang membantah. Maklumlah bahasa Inggris yang dapat membantu ibu dan dengan kemampuan yang pas-pasan yang berarti perjuangan untuk proses belajar ini Dan saya pun percaya, bukan hanya saya yang berjuang tetapi kami bersama, berjuang untuk belajar. Belajar menghargai, belajar menghargai, belajar menerima kelemahan dan kelebihan masing-masing.Dan yang terpenting adalah pembelajaran untuk hidup ber-oikumene dalam keseharian.
Kami tidak hanya belajar di kelas tentang sejarah dan gerakan oikumene dan berbagai teologi, dogma, misi gereja dan berbagai kegiatan keberpihakan, WCC untuk umat beragama, tetapi kami penuh makna belajar hidup di rumah Oikumene. Kami berasal dari 19 negara yang berbeda dan juga dominan yang berbeda, mulai dari Pantekosta, Gereja Murid Kristus, Katolik, Ortodoks, Anglikan, Baptis, Luteran dan Reformasi / Presbiter. Kemajemukan juga dapat dijumpai dari para profesor dan staf lembaga yang tidak hanya berbeda denominasi tetapi juga agama. Ah … rumah yang penuh harmoni dengan identitas majemuk yang toleran.
Menyebut rumah mengingatkan saya pada hakekat rumah di Maluku. Rumah di tatanan sosial masyarakat Maluku tidak hanya sebatas tempat hunian atau tempat berlindung dan melepaskan lelah selama seharian bekerja, tetapi rumah tempat bersua, mendukung, tempat belajar dan belajar antar anggota keluarga yang bukan sedarah. Karena itu, rumah tidak juga menjadi ruang privasi induvidual ruang sosial kecil dalam komunitas masyarakat besar.
Di Maluku kita jarang menjumpai rumah yang hanya dihuni satu orang. Rumah juga tidak hanya didiami oleh papa, mama dan anak-anak atau keluarga inti. Di berbagai negeri dan desa di Maluku dapat ditemui, rumah yang dihuni oleh papa, mama, anak-anak, keponakan, tante, om dan oma serta opa. Sebagian rumah malah menerima kenalan, teman kuliah lulus, atau dalam bahasa yang mulai dikenal digunakan sebagai anak asuh atau anak piara yang menjadi bagian utuh anggota keluarga. Kompleksitas anggota keluarga yang mendiami rumah di Maluku menunjukkan identitas kemajemukan yang telah berakar dan izin mendasar pada ruang sosial yang paling kecil.
Saya menghargai rumah kami di Halong dua tahun lalu. Kala itu masih ada papa atau yang disapa Opa Nil, saya, suami dan anak kami Alvio, dua adik laki-laki Aprio dan Erik, anak lelaki lelaki dengan panggilan Neni, dan anak piara dari teman Dihil tempat yang pernah saya bantu-Hosiel coba. Suasana rumah sangat ramai dikunjungi di jam makan, jam sibuk saat pagi atau malam, atau menyambut bersama mengawali dan meminta usbu. Belum lagi jika ada kunjungan dari adik-kakak bersama keluarga atau juga tante dan om atau keluarga lainnya. Selama waktu pada suka dan duka serta hidup, sekarang di rumah tinggal bersama saya, anak kami Alvio dan keponakan kami Neni.
Sekalipun menerima empat orang dari rumah kami adalah ‘rumah tua’-rumah bersama untuk berbagi dan bersua orang basudara ade deng kaka. Sebutan rumah tua akan disematkan pada rumah dimana satu keluarga atau satu rumah tinggal bersama orang tua dan anak-anak, kemudian dilanjutkan saat mereka dewasa membuat keluarga dan memiliki rumah sendiri. Rumah tua tidak hanya dapat dilihat sebagai simbol kenangan atau bagian dari masa lalu bersama tetapi di rumah tua selalu ada narasi kehidupan. Narasi itu adalah narasi nasehat orang tua;hidop bae-bae potong di kuku rasa di daging, laeng musti lia laeng, narasi dialog dan musyawarah kekeluargaan saat diterpa masalah atau untuk memenuhi kebutuhan masa depan anak-anak, narasi tentang kehidupan tidak pernah berubah, tetapi perlu terus dihidupkan dan dihidupi. Narasi kehidupan itu yang selalu membawa setiap anak dan cucu untuk kembali ke rumah tua.
Di hari terakhir kami menerima tanda selesai proses belajar, mulai dari refleksi ibadah tutup oleh Pdt. Benjamin Simone, arahan Dekan-Pastor Lawrence, Sambutan Sekretaris Umum WCC Pdt. Olav Fykse Tveit, menerima Dekan Fakultas Teologi Protestan Universitas Genewa- Prof. Ghislain Waterlot, hingga kata pelepasan dari Direktur Institut-Fr. Ioan Sauca, semuanya memberikan makna mendalam bagi kami. Ayah Sauca pada slide; Ke rumah Bossey potter, seperti tanah liat di tanah potter, begitu juga Anda, wahai siswa Bossey. Dia menganalogikan proses ini sebagai proses pembentukan bejana di tangan para periuk. Ya, kami menemukan itu, datang dengan cara pandang yang berbeda dan kembali dengan preskpektif oikumene yang holistik.
Jika Ayah Sauca memutuskan Bossey sebagai rumah periuk untuk merefleksikan proses belajar dan mengatur presoektif beroikumene maka saya ingin merujuk Bossey sebagai rumah beta-rumah tua oikumene. Rumah dimana saya mendapatkan proses interaksi dan kehidupan oikumene yang tidak sebatas kata-kata tetapi akta yang dihidupi dalam rutinitas keseharian. Tidak dibuat-buat dan dipaksakan, tidak juga untuk program polesan dan implementasi, rumah ini adalah rumah yang menyematkan identitas oikumene untuk saya dan mungkin sekian banyak alumni Bossey. Menurut sejarah, pelembagaan Institut Oikumene Bossey pada tahun 1946 sebagai fandasi pembentukan WCC, maka layaklah pula sebutan rumah tua untuk Bossey.
Bossey adalah rumah beta, rumah kita bersama, rumah tua yang telah menerima kehidupan oikumene untuk diteruskan dan diwariskan dalam konteks dan wilayah anak-anak-semua-anggota dan pesertaan WCC bahkan alumni Bossey. Rumah ini akan selalu mewariskan narasi oikumene di sepanjang masa, rumah yang diangkut seluruh duka dan pergumulan membantu ddigumuli, rumah yang akan mengajak untuk kembali-pulang ke rumah tua, berbagi cerita tentang petualangan dan manfaat oikumene.
Selamat memulai misi oikumene para profesor dan staf Institut Oikumene Bossey bersama teman-teman MAS
Selamat datang dan kembali misi pergerakan oikumene di wilayah kita masing-masing Alumni Bossey 2019-2020
Kita adalah satu di dalam roh dan kita juga memiliki berbaris dalam terang Allah
29 Januari 2020 di Bossey
Vebiola Songupnuan- Pdt GPM
Comment