Agama dan Liberalisasi Politik
W. Milano Maitimu
Mahasiswa Pasca Sarjana
Jurusan Ilmu Hukum Internasional
Universitas Indonesia
Mereka yang mengatakan agama tidak ada urusan dengan politik tidak tahu apa itu agama. ~ Mahatma Gandhi, Pemimpin India, Guru Perdamaian.
AMBON,MRNews.com,- Mahatma Gandhi, seorang rohaniawan asal India yang terkagum-kagum akan sosok Yesus dengan cerita khotbahnya diatas bukit. Tercatat dan dikenal dunia sampai hari ini, sebagai orang yang melakukan perjuangan kemerdekaan atas kuasa kolonial dengan cara menentang kekerasan dan menyuarakan jalan perdamaian. Semuanya itu termotifvasi melalui kisah Yesus, yang dikenal dalam iman Kristen sebagai Tuhan dan juruselamat. Jika membenarkan pendapat, ‘agama tidak dapat digabungkan dengan politik’ maka sudah pasti cerita Gandhi akan berbeda dihari ini.
Pasca beredarnya video rekaman seorang politisi yang menyeret nama pimpinan dan lembaga keagamaan Kristen terbesar di Maluku pada saat rapat akbar sebuah partai politik, muncul berbagai macam kecaman yang datang baik dari sesama golongan elit politik ataupun dari golongan yang awam. Tidak dapat dibedah secara baik motivasi kritikan yang datang dari golongan elit, mengingat Maluku sementara berada ditengah tahun panas politik. Sementara golongan awam setidaknya dapat kita tarik minimal terbagi dua motivasi besar, yang pertama kritikan sebagai respon karena merasa institusi yang menjadi sandaran identitasnya dilecehkan dan yang kedua lebih mengkritik dikarenakan narasi ‘agama tidak dapat digabungkan dengan politik’.
Tulisan ini tidak difokuskan untuk menilai peristiwa tersebut dan dengan tegas menghindar diri dari kecenderungan membenarkan salah satu pihak, tulisan ini lebih berfokus pada penggeledahan opini kalangan awam ‘agama tidak dapat digabungkan dengan politik’.
Negara dan agama, prosesi separasi: Sejarah dan motivasi
Latar belakang, apa yang dikenal dengan nama pemisahan agama dari negara dapat ditelusuri setidaknya dimulai secara resmi dibelahan benua Eropa lebih tepatnya pada saat liberalisasi segala aspek kehidupan baik sosial, politik dan ekonomi yang terjadi di Perancis pada abad ke 18 menurut penanggalan Masehi, dalam tahun 1789-1799. Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama revolusi Prancis. Revolusi Perancis adalah suatu periode sosial radikal dan pergolakan politik di Perancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Perancis, dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan bahkan hari ini dipakai sebagai pedoman berkehidupan hampir diseluruh negara didunia.
Revolusi ini dimulai dengan penyerangan gudang amunisi dan penjara Bastille oleh rakyat Perancis tertanggal 14 Juli 1789. Alasan revolusi ini secara umum dapat dilihat sebagai pergolakan penentangan kaum liberal (kemudian berubah menjadi nasionalis seperti yang kita kenal sekarang) yang sudah muak dengan despotisme feodal ala monarki (para raja), muak dengan status istimewa para bangsawan (untuk yang ini berbicara menyangkut konflik agraria) pemilik tanah yang mengupah murah rakyat pekerja (penghidupan yang tidak layak) dengan kewajiban pajak negara dengan harga tinggi. Serta tentu saja cita-cita untuk merobohkan kekuasaan gereja yang berkongsi dengan penguasa feodal dan para bangsawan pemilik tanah.
Perlu dicatat bahwa gereja menjadi pemilik tanah terbesar di Perancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan. Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, seringkali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang diberikan kepada masyarakat miskin.
Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal di Perancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka (Censer and Hunt, Liberte, Egalite, Fraternite: Exploring the French revolution, 1995: 4). Menurut John Mcmanners pada abad delapan belas, takhta kerajaan Perancis berhubungan erat dengan altar gereja layaknya sepasang kekasih (Censer and Hunt: 7).
Sistim kemasyarakatan Perancis pada saat itu terbagi didalam tiga kelas yakni, kelas pertama yang paling tinggi diisi oleh para petinggi gereja (catat kelas pertama), kelas kedua oleh para bangsawan yang memiliki tanah yang bukan milik gereja, dan kelas yang terakhir adalah golongan orang-orang buruh, rakyat biasa dan para pekerja diladang perkebunan para bangsawan maupun gereja.
Kekayaan dan hidup foya-foya yang dialami oleh feodal istana, para uskup dan bangsawan pada saat itu berbanding terbalik dengan rakyat yang menderita dibawah tekanan krisis ekonomi Perancis yang terjadi saat itu. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan revolusi dan liberalisasi penuntutan pemisahan geredja dari negara (menjauhkan gereja dari prosesi lingkaran politik).
Semangat inilah yang termanifestasi dalam semboyan resmi rakyat dan Republik Perancis, Liberte Egalite Fraternite (Kebebasan Kesetaraan Persaudaraan/Soliditas). Akar kata Liberte inilah yang dikemudian hari berubah menjadi liberalitas, kebebasan manusia dalam melakoni hidupnya termasuk terbebas dari peran agama yang dianggap jangan mencampuri urusan lain selain urusan rohani. Egalite kemudian berubah menjadi norma hukum (walau sebenarnya sudah lebih lama muncul) menyangkut kesetaraan tiap-tiap individu tanpa adalagi keistimewaan bagi raja dan para bangsawan maupun petinggi gereja, yang tertuang dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789. Serta Fraternite yang menjelma menjadi sosial movement.
Penerapan misi Liberte kekinian: berbagi contoh
Ketidak pahaman sejarah, berdampak pada interpretasi dalam narasi ‘agama tidak dapat digabungkan dengan politik’, terkadang dalam bahasa yang terkesan bodoh ‘agama alergi politik’.
Ratusan tahun setelah penyerangan Bastille, semangat nasionalisme (republikan) dan terkususnya semangat liberalisasi (kebebasan termasuk pembebasan negara dari gereja) memancar keseluruh dunia dan bertahan hingga saat ini. Perancis sendiri baru mencapai titik kulminasi pemisahan agama dari politik pemerintahan pada tahun 2006 dengan dikeluarkannya peraturan yang melarang segala atribut keagaamaan pada ruang-ruang publik.
Tetapi apakah benar agama alergi terhadap politik? Seolah keduanya jika bersinggungan akan berdampak buruk! Apa benar agama bisa benar-benar terlepas dari urusan politik? Apa benar ada negara yang benar-benar liberal? Ternyata tidak juga demikian, Amerika selaku negara bangsa yang paling liberal dimuka bumi ini (bahkan membebaskan warganya untuk tidak beragama) juga ternyata merupakan negara yang relasi politik dan agamanya sangat erat dan bahkan dapat dikatakan agamis, ini dibuktikan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden Trump diantaranya tentang National Day of Prayer, pembekuan dana bagi semua klinik aborsi dan mewajibkan semua sekolah yang ada di Amerika agar kembali menjalankan budaya berdoa Bapakami pada awal dan sesudah jam belajar. Tidak lupa budaya menyalakan pohon natal nasional ditiap kali menjelang natal. Semua hal yang saya pandang baik tersebut tidak mungkin akan terjadi jika agama (para imamnya) alergi untuk mendekatkan diri dengan politik (pemerintahan).
Republik Polandia pada masa pendudukan tentara merah komunis Soviet, jika bukan karena gereja Katolik (lobi kePausan) maka hari ini tidak ada lagi orang yang bercakap-cakap dengan bahasa Polandia. Hari ini jika bukan karna dukungan dan inisitaif Christian Democratic Union, partai politik afiliasi gereja Jerman, dipastikan jutaan pengungsi Timur-tengah sudah mati dihantam laut mediterania ataupun laut hitam. Bukankah semua itu adalah hal baik yang membuktikan bahwa gereja (agama) sebaiknya jangan alergi terhadap politik? Bagaimana misi penyelamatan Allah dapat berjalan jika gereja (agama) enggan berhubungan dengan penentu-penentu keputusan politik?.
Untuk konteks Maluku menurut saya sederhana, mengapa akar rumput ribut? Karna umat (akar rumput) dibiarkan untuk terus membenarkan diri mereka lewat narasi ‘agama alergi politik’ (menurut saya itu sama saja dengan pembodohan), ditengah situasi umat yang terus dibiarkan terdistorsi dalam memaknai sejarah liberalisasi agama-politik seperti itu, umat justru dikejutkan dengan fakta tersembunyi, mesranya elit gereja (agama) dengan elit politik. Akhirnya tulisan ini akan saya tutup dengan kalimat bijak dari seorang cendekiawan Muslim asli Indonesia. ‘Kalau politik dipisahkan dari agama, politik akan menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan dan akan menjadi beringas serta eksploitatif’. Amien Rais. (*)
Comment