by

PDAM “Bermasalah”, Apong Menuding Sejumlah Pihak, DPRD Bela

AMBON,MRNews.com,- Pasca pemberitaan beberapa media masa yang menyeruak tentang masalah di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Ambon pimpinan Apong Tetelepta, dengan proyek pengeboran sumber air tambahan di Wainitu tahun 2017 yang didahului kebijakan Tetelepta tahun 2016, dan dugaan adanya dana transferan proyek masuk ke rekening pribadi Apong, serta kegagalan kepemimpinannya oleh anak buahnya, dianggap jadi acuan bagi mitra kerja PDAM, komisi II DPRD kota Ambon untuk memanggil dan menginterogasi Apong di Balai Rakyat Belso, akhir pekan kemarin.

Hasil pantauan media ini saat rapat dengan komisi II, Apong lantas “menuding” sejumlah pihak baik internal maupun eksternal berperan sebagai biang masalah di PDAM, yang merembes hingga ke publikasi media masa. Komisi II pun membela Apong, dengan mengklaim tidak terjadi permasalahan karena sudah selesai dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Hal itu berangkat dari pertanyaan soal adakah data yang bisa jamin kebenaran sejumlah pihak di internal maupun eksternal PDAM terlibat dalam proyek pengeboran sumber air PDAM, Apong mengelak dengan alibi jangan berpatokan disitu. Tapi maksudnya didalam mekanisme itu, bukan internal saja yang masalah, tetapi juga ada dorongan-dorongan dari luar yang tidak bisa mengelak.

“Sudah wajar, yang penting kita tahu mekanisme dalam tugas dan tanggungjawab, batas-batasnya. Beta memang selalu bilang begitu, salah kata, bukan. Tetapi itu yang harus dihindari. Bagaimana memperbaiki PDAM. Problemanya, memperbaiki yang salah, alat atau orangnya. Kalau alat salah, bisa diperbaiki karena benda mati, tapi kalau orang, kita harus manage supaya dibalikan ke posisi sebenarnya, aturannya semuanya kita harus jalankan. Dan itu sangat sulit kalau orang, karena dia bervariasi” tandas Apong.

Sementara itu Ketua Komisi II, Johny Mainake mengungkapkan, hasil rapat kerja antara komisi II dan PDAM, dapat disimpulkan, kalau memang ada informasi menyangkut dinas lain selain mitra, akan disampaikan ke pimpinan. Kemudian paling penting, apa yang dilakukan Plt Dirut PDAM, melalui penggunaan anggaran yang sudah diaudit BPK dan diselesaikan karenanya tidak ada masalah atau clear.

“Artinya, yang disampaikan pimpinan PDAM tidak bisa ansi lalu menjustifikasi pada person. Selama justifikasi, baru bersifat dugaan, wajar-wajar saja. Kalau memang itu bisa dibuktikan bahwa ada keterlibatan pejabat internal dan eksternal jadi biang masalah di PDAM, komisi tidak tinggal diam, akan tindaklanjut soal-soal itu,” tegas Mainake.

Mestinya diakui Mainake jangan lagi dimasalahkan tetapi harus berpikir positif sehingga tidak menimbulkan pertanyaan baru. Karena semua kegiatan ada pemeriksaan, pertanggungjawaban. Kesimpulannya, apa yang dilakukan Tetelepta dan pemeriksaan BPK, tidak ada masalah. Hanya menjadi catatan, ketika seseorang diberi tanggungjawab, lalu tidak diberikan hak, kuasa memutuskan dan menata lembaga, pada akhirnya timbul persoalan banyak,.

Sehingga kata Mainake, kedepan komisi akan menggodok lagi rekomendasi untuk penguatan pimpinan PDAM. Karena, kalau cara-cara pengelolaan seperti ini, pegawai mengobok-obok kerja pimpinan atau disinyalir ada niatan melengserkan pimpinan dengan berbagai cara, maka pasti PDAM akan hancur. Bahwa kesalahan administrasi, bisa saja terjadi. Tetapi selama bisa dipertanggungjawaban, tidak ada masalah.

Pastinya juga, tambah Mainake, tidak serta merta apa yang disampaikan pimpinan PDAM, ansi jalur kejadiannya seperti itu. Maka komisi akan menindaklanjuti lagi, dengan merujuk informasi-informasi yang berkembang, tetap didalam kaitan fungsi tugas komisi. Artinya, bukan berarti rapat kerja komisi lalu selesai. Karena itu tugas dan tanggungjawab bersama mengawal persoalan ini.

“Coba saudara-saudara buktikan, apakah ada rekomendasi BPK bahwa terjadi maladministrasi?. Bicara ada tidaknya pelanggaran administrasi di PDAM dan berujung pelaporan ke Ombudsman, lain persoalan. Masalahnya disini soal ketidakpuasan. Tupoksi Ombudsman untuk pengawasan pelayanan publik. Apakah ketika dirut PDAM melakukan kebijakan lalu merugikan kepentingan publik?. Kalau hanya perseorangan, tidak bisa dikategorikan publik. Itu yang nanti sama-sama kita lihat,” bebernya.

Lebih lanjut cerita Apong soal sejumlah masalah di PDAM, dimana proyek pengeboran sumber air baru harusnya jalan di tahun 2017, dengan anggaran di dua titik selain Wainitu 1,5 miliar. Tapi karena insidentil dan minimnya air, dirinya mengambil kebijakan pada Februari 2016 untuk lakukan pengeboran. Dengan perencanaan anggarannya Rp 574 juta. Dimana dana investasi dari PDAM, dan diberikan Rp 200 juta. Karena yang penting pengeboran jalan, sisanya diganti semua kekurangan itu.

Dana Rp 200 juta yang didapat, kata Apong dengan janjian, kalau proyek ini jalan dan pengeboran selesai, Dinas PUPR kala itu pimpinan Brury Nanulaitta dan pihak ketiga akan bayar sesuai nilai kontrak, dan akan gantikan ke PDAM. Setelah proyek jalan di 2017, yang diberikan oleh Nanulaitta hanya Rp 300 juta lebih dari Rp 574 juta perencanaan. Sisa Rp 200 juta lebih tidak ditambah.

“Disitulah beta pikir, supaya membantu pengeluaran yang ada dan tutup kembali dana yang dikeluarkan PDAM, Rp 200 juta itu. Dengan catatan, kalau dijumlahkan sama dengan perencanaan, sehingga tidak memungkinkan caranya untuk pengembalian. Faktanya berbeda hanya diberikan Rp 300 juta lebih. Saat pemeriksaan BPK, beta bilang Rp 200 juta lebih dijadikan investasi, sehingga clear. Tapi anak-anak PDAM ni khan kurang ajar, mereka masukan item itu dalam pinjaman bukan investasi,” terang Apong.

Kondisi PDAM, tambah Apong dengan karakter dan sifat orang-orangnya yang sudah dipahami, karena apapun hal di internal mereka bisa jadikan masalah besar. Seperti investasi tapi dibuat pinjaman sehingga harus ganti sebagaimana rekomendasi BPK dan sudah selesai.

“Tetapi persoalannya kenapa diangkat lagi, karena mereka tidak setuju untuk selalu beta pegang PDAM, padahal yang bangun PDAM itu beta,” kesalnya.

Pasca rapat itu, pengakuan “berbeda” diungkapkan lagi oleh Apong, saat diwawancarai awak media.

Dirinya mengaku ada transferan Rp 260 juta. 60 juta itu ada pembelanjaan dari PDAM, sedangkan 200 juta itu dirinya yang mengambil langsung. Selain itu, proyek pengeboran sumber air di Wainitu tersebut, bukan proyek PDAM tapi Dinas PUPR. Sehingga tender itu bukan di PDAM, tapi pihak PU. Diselaraskan dengan pengakuannya yang tidak tanda tangan tender. Padahal pernyataan awal Apong, itu ditenderkan di PDAM.

“Kalau ditenderkan, harusnya dana masuk ke rekening kontraktor, bukan rekening pribadi bapak,” tanya wartawan.

“Karena itu PU, jadi tanyakan orang PU saja. Beta seng tahu soal itu,” sambungnya.

Apong lantas membela diri, bahwa kontraktor yang menyewanya untuk boring, bukan dirinya yang melakukan tender. Karena kontraktor tidak punya peralatan, sehingga dirinya bersama bersama peralatan milikinya yang disewa, termasuk biaya pengeboran.

Apong menyanggupi dan menjamin bisa menyediakan data lengkap ketika komisi II DPRD turun on the spot ke PDAM. Termasuk persoalan yang dikatakan investasi, bukti rekening kiriman Rp 300 juta lebih dari Nanulaitta dan penggunaannya. Serta laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap proyek pengeboran sumber air Wainitu.

“Siap. Semua ada datanya. Keterangan pa Brury benar, memang dananya masuk di rekening pribadi saya karena kontraktor yang kasih ke saya untuk kerja boring,” tutupnya.

Rapat itu pula seakan “dikendalikan” Apong, karena Komisi II DPRD tidak memegang atau kantongi data-data menyangkut sejumlah masalah PDAM itu yang disampaikan gamblang oleh Apong. (MR-05)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed