by

Kritik F-Golkar & PDIP, BST: Saatnya Politisi Belajar Nature Politik Sebagai Seni

-Politik-175 views

AMBON,MRNews.com,- Ada saja yang patut diingatkan kepada aktor-aktor publik di Maluku yaitu pilihan diksi dalam keputusan politik termasuk komunikasi publik.

Masih segar diingatan bagaimana seorang Gubernur Maluku Murad Ismail menggunakan diksi-diksi yang tidak patut dalam merespons pertanyaan wartawan.

Ternyata bukan hanya seorang Gubernur, Fraksi Partai Golkar bahkan Ketua Fraksi PDI P DPRD Maluku juga terjebak dalam pilihan diksi yang sama buruknya.

Manakala, Fraksi Golkar dalam kata akhir politiknya menilai pemerintahan Gubernur Murad Ismail dan Barnabas Nataniel Orno sebagai yang terburuk dalam sejarah pemerintahan daerah di Maluku.

“Saya pikir pilihan diksi “terburuk”, kalau pun faktual, tidak pada tempatnya digunakan secara vonistik dalam komunikasi publik,” tandas politisi senior Maluku, Bitsael Silvester Temmar (BST).

Seharusnya kata BST, fraksi Golkar memiliki kecerdasan untuk mengabstrasi penilaian politik atas kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur sedemikian rupa agar disatu pihak mendorong perbaikan tanpa merasa direndahkan.

Tetapi pada pihak lain mengedukasi masyarakat politik tentang bagaimana menyampaikan pesan politik yang kritis sekali pun tanpa merendahkan.

Sama pula dengan klaim Ketua Fraksi PDI-P DPRD Benhur Watubun tentang pembagian participating interest (PI) sebagai performa Gubernur sekarang dan bukan Gubernur Said Assagaff atau Karel Ralahulu.

“Klaim seperti dengan diksi yang cenderung meremehkan, tentu saja cacat logika penalaran. Ini juga pertanda betapa klaim ini menggambarkan ketidaktahuan kerja pemerintahan sebagai satu kontinum,” ingatnya kepada media ini via WhatsApp, Selasa (21/12).

Dikatakan, jikalau sekarang pembagian PI diputuskan pemerintah, berarti timely. Artinya proses pendalaman dan pilihan keputusan telah dilakukan sebelumnya, sejak kepemimpinan Ralahalu kemudian Assagaff.

Karena dalam proses panjang itu semua pertimbangan sudah dilakukan, baru sekarang diputuskan. Keputusan itu terjadi pada era MI sebagai Gubernur.

“Jadi apakah hanya karena keputusan pemerintah tentang pembagian PI terjadi diera kepemimpinan Gubernur sekarang, logiskah jika kemudian diklaim sebagai prestasi dengan mengkomparasikan terhadap Gubernur-gubernur sebelumnya seolah-olah tidak berprestasi?,” tegasnya.

Jadi kata BST, terlampau prematur atau dalam diksi standar akademik dapat disebut sebagai “loncatan generalisasi” jika melakukan klaim seperti Ketua Fraksi PDI P. Dan klaim seperti ini buruk karena juga menebar edukasi publik yang menyesatkan.

“Dengan ini harus saya katakan, aktor-aktor politik lokal saatnya belajar mengenali paling sedikit nature politik sebagai seni (art). Namanya seni selalu berurusan bahkan beririsan dengan keindahan,” ungkapnya.

Keindahan itu sebutnya, antara lain berkaitan pilihan diksi yang diabstraksi sedemikian rupa sehingga tidak seronok dan kampungan. Sebab jika demikian, secara tidak terhindarkan mengajari publik juga untuk meniru.

“Proses imitasi ini yang membuat politik lokal kita tampak begitu buruk bahkan cenderung primitif,” pungkasnya. (MR-02)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed