Oleh : Olifia Hukunala, S.Sos (Mahasiswa Pasca Sarjana UNAS Jakarta)
AMBON,MRNews.com,- Hari ini tanggal 24 September, dua peristiwa penting secara bersamaan, pertama terkait dengan peristiwa semanggi II, yang menjadi catatan sejarah pergerakan mahasiswa memperjuangkan Reformasi tetapi juga diperingati sebagai hari Tani Nasional,
Membicarakan tani, pertanian tidak terlepas dari gumulan perempuan sebagai bagian yang punya andil dalam pembangunan, dari skala yang paling kecil adalah menopang ekonomi keluarga ( rumah tangga). Saat ini perempuan diperhadapkan dengan berbagai persoalan baik dalam kulturnya, maunpun hak- hak- haknya. perempuan kerap mengalami tindak diskriminasi dalam berbagai link kehidupan, salah satunya adalah masalah perempuan dan tanah.
Kondisi perempuan tanpa tanah berdampak kepada semakin langgengnya ketidakadilan gender yang dialami perempuan. Perempuan dengan peran gendernya yang dianggap sebagai “perawat dan penjaga” keluarga terpaksa harus bekerja keras agar perekonomian keluarga tetap dapat bergerak. Hilangnya wilayah kelola masyarakat berdampak pula pada hilangnya kedaulatan perempuan atas pangan, serta
kearifan lokal mereka, baik dalam pemuliaan benih, maupun ritual yang dilakukan pasca panen.
Di wilayah perkotaan, masifnya proyek infrastruktur berdampak kepada digusurnya rumah-rumah warga. Penggusuran warga ini berbuntut pada proses relokasi yang tidak manusiawi, kompensasi yang tidak adil, dan tidak dilibatkannya perempuan dalam proses negosiasi maupun diskusi menentukan jumlah kompensasi. Berdasarkan data BPN, 56% aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2% penduduk Indonesia. Ketimpangan tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan masyarakat, tapi juga antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan pemilikan dan atau penguasaan (baca : Solidaritas Perempuan 2018).
Perempuan berprofesi sebagai petani ditantang berbagai persoalan, baik masalah penguasaan tanah yang dikuasai kaum laki-laki. Dalam tradisi, budaya patriarchi perempuan ditersubordinasikan dari struktur penguasaan atas tanah. Pada realitasnya, perempuan kerap jadi korban utama. Era Revolusi 4.0 petani perempuan terancam sebab revolusi 4.0 sarat dengan penggunaan teknologi, sedangkan petani perempuan Indonesia hanya petani tua. Dari sisi sumber daya manusia masih sangat lemah. Rata-rata pendidikan hanya SMP. Sedangkan tuntutan era saat ini yakni kecepatan dan kreatifitas. Lahan dan tenaga kerja tidak menajdi fokus utama, dan akan mulai tergantikan.
Dimanakah posisi perempuan ? yang merupakan yang dari segi kepemilikan (property right) sama sekali tidak mendapat tempat dalam struktur kepemilikan berdasarkan budaya Patriarchi. Perempuan cencerung mwnjadi korban atas kebijakan. Dan sendirinya akan tergerus oleh zaman. Perempuan berprofesi sebagai petani dintantang dengan berbagai persoalan, baik masalah penguasaan tanah yang dikuasai oleh kaum laki-laki, di satu sisi kesiapan teknologi sudah tersedia dalam mendukung keberlangungan Revolusi 4.0 tetapi apakah semua orang, ( petani khusus perempuan memiliki akses terhadap Sumber daya dan teknologi yang ada ?.
Negara melalui program Reforma Agraria mesti mengintegrasikan prinsip keadilan gender melihat perempuan sebagai subjek dala.pembangunan nasional yang berhak atas kepemilikan (Property) dan penggunaan lahan, tanah secara berkeadilan. pembangunan nasioanl tidak hanya berkelumit disatu sector tapi semua permasalahan mesti dilihat secara holitik, termasuk Akses dan jaringan bagi perempuan sebagai subjek pembangunan. (**)
Comment