AMBON,MRNews.com,- “Hati nih mau sa par tinggal, mar kalu dong su tola, mau bilang apa lai” (=hati ini sebenarnya mau tinggal, tetapi bila mereka menolak, apa boleh dikata).
Ini sering menjadi semacam “rasa manyasal babae paskali” (=penyesalan yang besar), karena ada keinginan untuk bersama-sama, tetapi “kalu dong seng tarima, manyasal babae paskali ale” (=bila tidak diterima, sungguh disesali).
Ada beberapa istilah yang melukiskan penyesalan itu, Satu: “bale blakang”. Karena ditolak, maka “loko bale blakang mi” (=pergi meninggalkan, memunggungi).
Biasanya merupakan reaksi kemarahan, “mar sio, seng sampe hati” (=sungguh, hati ini berat melakukannya).
Jadi tetap “bale muka jua par lia” (=mempedulikan lagi). Jadi biasa “bale blakang mar bukang buang muka” (=memunggungi tetapi bukan tidak mempedulikan lagi).
Dua: “angka panta” (=berdiri, pergi meninggalkan tempat duduk). Tindakan ini sering terjadi saat ada “baku malawang sadiki” (=sedikit perbantahan). Biasanya antara “laki bini” (=suami istri), “ade kaka” (=adik kakak), “tamang” (=sahabat).
Jadi terjadi dalam relasi orang-orang yang setara. Jadi karena ada satu hal yang “biking baku malawang tar ujung pohong” (=membuat timbul perbantahan yang tak tau ujungnya), maka “angka panta pi kas’ tinggal” (=berdiri dan pergi meninggalkan).
“Nanti kalu hati su tado jua bale e” (=bila hati sudah tenang, kembali juga). Jadi “pi mar tau jalang pulang” (=pergi tetapi pulang lagi).
Tiga: “cuci tampa kaki” (=membersihkan pijakan). Tindakan ini dilakukan pada kondisi “marah sa kapala” (=marah sekali). Dan biasa terjadi sebagai tanda “pi tar bale-bale” (=pergi dan tidak kembali) atau “kabas abu kaki” (=mengebaskan debu dari kaki).
Ini harus dihindari sebab “hidop orang sudara seng boleh putus” (=persaudaraan tidak boleh dibiarkan putus). Lagi pula, “marah jua mau brapa lama?” (=mau terus marah sampai kapan?).
“Kalu marah, bilang, tagal kata-kata tuh tar jatuh di tanah” (=katakanlah jika anda marah, karena kata-katamu itu tidak keluar untuk kesia-siaan).
“Dong hati karas macang batu lai mar tetap ancor” (=walau hati mereka keras laksana batu, pasti hancur juga).
Jadi, “kalu su bicara la dong tetap tar tarima, seng apapa. Nanti jua dong mangarti. Ada waktu” (=bila sudah disampaikan dan mereka tidak menerimanya, biarlah. Saatnya juga mereka mengerti. Ada waktunya).
Sabtu, 17 Juli 2021
Pastori Ketua Sinode GPM Jln Kapitang Telukabessy-Ambon
Elifas Tomix Maspaitella (Eltom). (**)
Comment