AMBON,MRNews.com,- Ditengah masa pandemi COVID-19 yang masih melanda Maluku, sektor pendidikan sebagian besar masih menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh atau lewat media dalam jaringan (Daring).
Hanya sebagian kecil daerah yang tak ada lagi kasus COVID-19 (zona hijau), sudah mulai belajar tatap muka namun tetap mengutamakan protokol kesehatan.
Dalam kondisi yang umumnya dengan belajar Daring, mau tidak mau harus dijalani guru, siswa dan orang tua. Tapi tak sedikit pula siswa dan orang tua mengeluh karena beban tugas menjadi lebih tinggi.
Belum lagi keterbatasan ekonomi yang dibarengi tuntutan kuota internet. Terutama orang tua siswa yang ekonominya terdampak langsung akibat pandemi COVID-19 juga terbeban.
Ujungnya, Kamis (23/7) kemarin, pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Cabang Ambon dalam rapat internalnya diketahui menerima banyak aduan dalam satu minggu terkait pembelajaran jarak jauh. GmnI juga melakukan survei kepada 250 siswa dan 62 guru terkait metode pembelajaran tersebut.
Hasil survey, 50,6 persen responden pernah pakai platform pembelajaran Daring yang terbanyak adalah platform gratis yang disiapkan seperti Ruangguru, rumah belajar. Tapi mereka tidak bisa mengakses semua materi pembelajaran. Karena mereka pakai platform gratis dalam membuka internet.
“Kuota jadi masalah karena banyak anak tidak terlayani. Berdasar data survey itu, tidak hanya di Maluku yang 54 persen tidak bisa tertangani daring dari 250 siswa, tapi daerah sangat terjangkau dengan internet pun masih ada 11 persen tidak terlayani secara daring,” sebut Jopi Ferdinandus, salah satu guru SMA di Maluku.
Kesulitan itu karena misalnya orang tua yang punya tiga anak. Ketiganya harus difasilitasi kuota internet. Tak hanya sehari tapi selama pandemi. Pikiran tentu terbagi sebab makan sehari-hari harus juga jadi prioritas. Bak dua sisi mata uang yang berbeda namun sama berartinya.
Selain itu dari hasil survei itu juga, 79,9 persen siswa mengeluhkan minimnya interaksi dengan guru karena dalam pembelajaran daring hanya diberikan tugas via aplikasi WhatsApp. Anak-anak juga merasa beban tugas untuk mereka terlalu berat.
“Jadi yang selalu memberi tugas itu mencapai 73,2 persen dengan jangka menit waktu pendek. Tugas satu belum selesai, datang lagi tugas kedua. Tak lama, datang tugas ketiga, begitu seterusnya. Sehingga anak-anak merasa kelelahan karena 95 persen tugas dikerjakan dengan HP,” ujarnya di Ambon, Minggu (26/7).
Sederet imbauan usai pembukaan sekolah di zona hijau dibolehkan pemerintah. Tapi daerah zona merah atau oranye seperti kota Ambon banyak siswa kesulitan mengerjakan tugas karena guru tidak pernah menjelaskan pelajaran. Akibatnya, banyak siswa merasa tidak senang belajar di rumah.
Dari 250 responden, 50.6 persen kesulitan mengerjakan tugas karena guru tidak pernah menerangkan. Tidak pernah ada interaksi sehingga tugas demi tugas menjadi berat dipikirkan sendiri anak-anak. Catatan lain, ternyata banyak guru menurut anak-anak ketika diberi tugas dan dikumpulkan, gurunya tidak memberi feedback. Ini juga menurunkan semangat anak-anak mengerjakan tugas.
“Akhirnya karena formulanya seperti itu, 76,7 persen responden kami para siswa mengaku tidak senang belajar dari rumah. Yang senang hanya 23,3 persen. Ini anak-anak yang terfasilitasi pada alat belajar, kuota, dan lain-lain,” terang aktivis GmnI Maluku itu.
Untuk kuota internet membutuhkan sedikitnya Rp 130 ribu per bulan. Itulah konsekuensi belajar Daring selain mahalnya kuota internet, siswa tugas banyak, guru harus melayani siswa yang bisa online & tidak, sementara orang tua bingung bagaimana mendampingi siswa menyelesaikan tugas-tugas dan memfasilitasi anak-anak.
Siswa dan guru sudah terbiasa pembelajaran tatap muka. Video saja tidak cukup karena sebagai guru kita harus sadar sungguh bahwa tugas kita bukan mengajar saja tapi jug mendidik. Tugas mendidik ini apakah bisa terpenuhi dengan pembelajaran Daring?. Siswa bukan mesin robot.
Pembelajaran Daring saat ini yang diketahui bahwa aktivitas tugas-tugas pembelajaran dapat bervariasi antarsiswa dengan mempertimbangkan akses atau fasilitas di rumah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentunya sejak awal menetapkan prioritas ulang dalam kebijakan serta alokasi sumber daya anggaran. Sudah ada peraturan Mendikbud No.19 tahun 2020 yang memberikan fleksibilitas penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Sehingga dana BOS ini dapat digunakan untuk pembelian pulsa internet, paket data atau layanan pendidikan daring yang berbayar bahkan bagi guru dan siswa dalam rangka pembelajaran dari rumah.
Peraturan tersebut memberikan fleksibilitas kepada sekolah karena sekolah yang paling mengetahui kebutuhan sekolah masing-masing apakah itu guru maupun siswa. Dana BOS bisa digunakan untuk itu untuk memfasilitasi belajar Daring.
Dengan begitu, keluhan yang dihadapi siswa bisa teratasi perlahan lahan. Siswa tidak bisa dipaksa. Karena banyak kendala dihadapai dalam proses pembelajaran daring. Tanggungjawab semua elemen membenahi ini. (MR-02)
Comment