AMBON,MRNews.com,- Akademisi Hukum IAIN Ambon, Nasaruddin Umar katakan, bahwa selain sanksi pidana juga perlu keadilan restoratis justice atau keadilan restoratif kepada pihak keluarga korban yang ditinggalkan.
Hal ini kata dia, mengingat sebagian masyarakat dan pihak keluarga sendiri merasakan tidak adil apabila hukuman kepada tersangka dengan pasal 351 Ayat (3) KUHP dengan ancaman 7 tahun belum sebanding dengan kehilangannya nyawa seseorang.
“Kita mengapresiasi langkah cepat yang dilakukan kepolisian yang telah menetapkan tersangka dengan pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun. Dan hasil otopsi menunjukkan ada potensi kesesuaian dengan delik pasal yang digunakan penyidik,” kata Nasaruddin.
“Meskipun sebagian masyarakat merasa penerapan pasal ini dirasa tidak adil apabila dibandingkan dengan pihak keluarga yang harus kehilangan salah satu keluarganya,” katanya saat dihubungi media ini, Jum’at (4/8).
Nasaruddin menegaskan, adalah hal wajar apabila masyarakat mengukur keadilan itu dari sisi apa yang ia rasakan karena bersandar pada nilai-nilai intrinsik yang dianut.
Lebih lanjut kata dia, dalam perspektif sosiologis adalah hal wajar bila masyarakat mengukur keadilan itu dari sisi apa yang ia rasakan karena bersandar pada nilai-nilai intristik yang dianut seperti nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan (human velue) yang bersandar pada prinsip keseimbangan.
“Namun pada persfektif hukum, keadilan hokum atau legal justice para penegak hukum bersandar pada kebenaran materiil berdasarkan fakta peristiwa dan hukum formil yang ada,” lanjutnya.
Kemudian dia berharap agar penegak hukum dalam tahap proses kasus ini harus bisa mewujudkan rasa keadilan dengan baik.
“Maka penegak hukum dalam memperoses kasus ini hendaknya mampu mewujudkan rasa keadilan baik procedural justice atau formal justice yang menyangkut keadilan hukum acara dan prosedur yang mengarah pada persamaan dan keadilan substantive atau substantive justice yang menyangkut keadilan materiil yakni kepatutan atau Al-qist bagian (yang wajar dan patut),” tegas Nasaruddin.
Dia juga mengatakan, para penegak hukum kepolisian, jaksa dan hakim nantinya harus netral dan juga objektif.
“Indikatornya secara procedural justice atau formal justice polisi, jaksa dan hakim harus netral dan obyektif, perkaranya diusut secara cepat, tepat dan tuntas termasuk dalam menerapkan pasal dengan dalil-dali dan pengajuan bukti-bukti sesuai fakta dilapangan sampai kasus ini berproses di pengadilan menerapkan prosedur dan proses peradilan yang adil (duo process of law),” tegasnya lagi.
Aparat Penegak Hukum (APH) tambah dia, diharapkan harus bisa memberi hukuman yang patut serta sesuai bukti-bukti kebenaran, penerapan pasal yang tepat tergantung fakta hukum mana yang sesuai unsur-unsur delik dalam pasal-pasal pidana.
“Kita perlu menghormati proses hukum yang sedang berjalan dan mempercayakannya kepada penegak hukum untuk menggali fakta-fakta hukum yang ada,” ingatnya.
Selain keadilan hukum pidana menurut Nasaruddin, ada nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat yang juga bisa digunakan untuk mewujudkan keadilan substantif.
“Misalnya menggunakan prinsip keadilan restoratif yang berpusat pada keadilan bagi korban seperti permintaan maaf yang tulus dan rasa penyesalan mendalam dari pelaku atau keluarga pelaku kepada orang tua dan keluarga korban, atau memberi santunan kepada keluarga dalam bentuk uang duka, biaya hidup, biaya pendidikan kepada sodara-sodara korban bisa dilakukan oleh keluarga pelaku kepada keluarga korban,” urainya.
“Langkah-langkah seperti ini barangkali bisa ditempuh untuk memberi keadilan yang lebih substantive kepada pihak korban atau keluarga,” pungkasnya.
Diketahui, kasus penganiyaan yang diduga dilakukan tersangka, Abdi Toisuta (25), anak Ketua DPRD Kota Ambon, Ely Toisuta hingga menyebabkan RRS, warga Ponegoro atas meninggal dunia.
Abdi sudah ditetapkan sebagai tersangka dan terancam hukuman tujuh tahun penjara karena disangka melanggar pasal 351 ayat 3 KUHPidana tentang penganiaayaan yang mengakibatkan orang meninggal dunia. (MR-02)
Comment