by

RUU Perampasan Aset-Buah Simalakama Bagi Partai Politik

Oleh : Rory Dompeipen

AMBON,MRNews.com,- Belakangan ini ramai diperbincangkan RUU Perampasan aset yang kurang mendapat dukungan dari DPR karena tidak ada dukungan dari para Ketua Partai. Disisi lain dorongan Presiden Joko Widodo dan masyarakat cukup kuat untuk menyelesaikan RUU ini.

Partai politik melihat ini sebagai buah simalakama, bila didukung akan berpengaruh terhadap operasional partai, bila ditolak maka akan berpengaruh terhadap elektabilitas partai karena dukungan masyarakat kuat untuk terealisasinya RUU Perampasan Aset ini.

Dengan desakan dari berbagai kalangan, akhirnya RUU ini diserahkan pemerintah ke DPR RI dan diagendakan DPR RI untuk dibahas dalam waktu dekat.

Kurangnya dukungan dari partai politik bahkan bisa dikatakan ada penolakan, bagi kami bukan hal yang mengagetkan karena dapat mengancam matinya mesin partai termasuk kadernya.

Bisa dipastikan bahwa untuk operasional partai, dananya berasal dari berbagai sumber seperti donatur, partisipasi anggota partai, dan bahkan memanfaatkan jabatan untuk mencari dana tambahan (salah satu yang menjadi momok).

Penulis cukup memahami dilema yang dihadapi partai politik di Indonesia. Melihat kasus-kasus yang ditangani KPK, sebagian besar tersangkanya adalah politisi.

Manghadapi permasalahan ini, UU Perampasan Aset bukan jadi solusi utama dalam menekan korupsi saat ini. Perlu dilihat penyebab terjadinya korupsi yang masif dan terus terjadi. Semua orang yang melakukan korupsi, khususnya para politisi pasti akan gelisah dalam mengeksekusinya.

Disisi lain mereka melihat relita adanya OTT oleh KPK dan penangkapan koruptor oleh penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Pertanyaannya, mengapa para politisi masih nekat melakukan korupsi? Walau taruhannya nama baik mereka, keluarga dan partai.

Tahun 2016 sekitar bulan Februari, penulis pernah berbicara dengan Juru Bicara KPK (Ibu Yuyu) yang saat itu berada di Ambon. Pertanyaan yang penulis sampaikan: Apakah KPK merasa bangga dan puas saat menangkap para koruptor yang sebagian besar adalah pemimpin potensial yang ada di negara ini?. Seorang politisi wajib hukumnya untuk korupsi karena negara belum menjamin biaya politik secara utuh.

Ada juga korupsi yang “dihalalkan” kepada anggota legislatif berupa aspirasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada prosentasi dalam biaya aspirasi, dimana biayanya akan diambil pengusul aspirasi (ada juga yang tidak mengambilnya dan mereka hanya fokus untuk aspirasinya terealisasi dengan baik).

Bila ada masalah dengan aspirasi maka akan ancaman hukuman sudah menanti. Hasil diskusi ini jadi pembahasan KPK dengan Menteri Keuangan untuk meningkatkan biaya politik. Sebagai informasi tambahan bahwa pada bulan Oktober 2022 Mendagri mengusulkan untuk menaikan 50% bantuan dana partai politik yang saat ini sebesar Rp. 1.000 per suara sah pada pemilu terakhir.

Bahkan Mendagri Tito Karnavian pernah mengusulkan kepada Komisi II DPR RI agar pada tahun 2023 ini meniakan dana bantuan partai politik dari Rp. 1.000 menjadi RP. 3.000.

Sebagai contoh pada Juni 2022,  Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) melalui Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum menyerahkan bantuan sebesar Rp 27.503.961.000.-. Jumlah ini diberikan berdasarkan perolehan suara pada pemilu terakhir yaitu 27.503.961.

Kompas.com tanggal 28 April 2023 mengangkat berita “Sandiaga Uno Mengaku Keluarkan Hampir Rp. 1 Triliun untuk Biaya Kampanye Pilpres 2019”, dana ini untuk pemenangan 1 pasang Capres dan Cawapres yang baru bersumber dari 1 orang, belum ditambah dari sumber lain sehingga pasti jumlahnya bisa jauh lebih besar.

Bila dibandingkan dengan biaya politik yang disediakan pemerintah maka masih jauh dari yang dibutuhkan. Seorang yang akan maju sebagai bakal calon kepala daerah biasanya harus menyiapkan modal yang jumlahnya cukup fantastis.

Sebagai contoh, bila ingin menjadi Gubernur maka harus menyiapkan dana berkisar Rp 100 M, bila mau jadi Bupati atau Walikota, harus menyiapkan dana berkisar 20M s/d Rp 30 M (Survey KPK dan LIPI) tapi menurut informasi penulis dapati bahwa untuk jadi calon Gubernur musti siapkan dana berkisar 100 s/d 200M tergantung situasi daerahnya.

Dana ini bersumber dari calon itu sendiri, donatur, partai dan partisipasi masyarakat. Modal ini akan dikembalikan saat yang bersangkutan menduduki jabatan. Ini sudah menjadi rahasia umum. Apakah kebutuhan biaya ini pernah dibicarakan secara terbuka dengan pemerintah atau disampaikan secara terbuka kepada publik?.

Beberapa waktu lalu disampaikan Menkopolhukam – Mahfud MD bahwa hasil temuan KPK ada 84 kepala daerah di Indonesia dipilih melalui cukong sehingga selama menjabat kepala daerah akan berpotensi melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Disisi lain jumlah hingga Agustus 2022 sebanyak 310 anggota DPR dan DPRD, 154 Bupati dan Walikota serta 22 Gubernur tersandung kasus korupsi. Parpol memiliki biaya operasional tinggi dalam menjalankan mesin partai, apalagi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu). 

Menghadapi realita ini maka sebaiknya biaya operasional partai didiskusikan dengan pemerintah secara terbuka sehingga diharapkan dapat diakomodir secara utuh. Apakah akan menjadi beban anggaran ? Bagi penulis tidak, karena kalau diamati selama ini penggunaan anggaran politik yang bersumber dari dana “korupsi” dapat dianggarkan secara resmi.

Sampai saat ini Parpol masih kesulitan menyampaikan hasil audit keuangannya kepada KPU dan BPKP karena faktor internal yang jadi penghambat. Bila harus memasukan hasil audit kepada KPU atau BPKP maka akan dibuat seadanya saja sebagai persyaratan untuk dapat mengikuti Pemilu. Transparansi dalam pengelolaan keuangan partai politik merupakan hal yang sulit karena dapat jadi jebakan dan ini jadi sumber kekuatan mereka.

OTT yang sering dilakukan KPK terhadap para koruptor yang sebagian besar adalah para politisi menunjukan bahwa tidak ada pilihan lain bagi politisi untuk mencari biaya politik. Belum adanya solusi terhadap hal ini maka tidak akan terlihat adanya perubahan yang terjadi dalam dunia perpolitikan kita dan nasib para politisi akan tidak menentu karena akan selalu dihadapi dengan ancaman hukum.

Para politisi tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugas dan fingsi mereka sebagai anggota legislatif atau sebagai pimpinan daerah. Diperlukan terobosan dalam mengatasi masalah biaya politik.

Transparasi dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan biaya politik yang dihadapi dan dibutuhkan instrumen tambahan dalam mengakomidir biaya politik secara legal. Biaya politik perlu dibicarakan semua partai secara bersama-sama untuk kemudian disampaikan kepada Pemerintah.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan juga terkait pendapatan yang diperoleh para politisi. Sebagai contoh, ditemukan beberapa anggota DPRD bila sudah alami kesulitan keuangan maka mereka tidak akan menerima tamu konstituen dengan alasan umum bahwa mereka tidak ada di tempat, nanti besok saja.

Hal ini menunjukan bahwa biaya operasional termasuk kesejahteraan mereka belum memenuhi kebutuhan dasar mereka. (***)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed